Senin, 20 Oktober 2014
Jumat, 23 Desember 2011
Sakit Jiwa no 2 : Optimis berlebihan
Sakit Jiwa no 3 : Para pencari perhatian yang disebabkan krisis eksistensi.
Sakit Jiwa no 4 : Kaum sok suci.
Sakit Jiwa no 5 : Jablai.
Sakit Jiwa no 6 : Mereka yang bangga menyebut dirinya miskin.
Sakit Jiwa no 7 : MASOKIS
Sakit Jiwa no 8 : Lebay.
Sakit Jiwa no 9 : Sok Tau, alias keminter, atau dalam Rusia berarti “Sotoy”.
Sakit Jiwa no 10: Diam-diam, tak ada angin, tak ada hujan, garuk-garuk pantat.
Sakit Jiwa no 11: Suka mendominasi pembicaraan.
Sakit Jiwa no 12: Sok yes.
Sakit Jiwa no 13: Berlagak bodoh, Inggrisnya “Nggobloki”, Dalam istilah Prancis “Macak Longor”.
Sakit Jiwa no 14: Apatis.
Sakit Jiwa no 15: Garuk-garuk hidung (ngupil) dengan alasan kebersihan.
Sakit Jiwa no 16: Ngeyel.
Sakit Jiwa no 17: Cengeng
Sakit Jiwa no 18: Pembohong Besar.
Sakit Jiwa no 19: Klepto
Sakit Jiwa no 20: Seneng utang padahal punya banyak uang.
Sakit Jiwa no 21: Matrealistis, Inggrisnya “Kedunyan”, istilah Spanyol “Kemalan duek”.
Sakit Jiwa no 22: Narsis.
Sakit Jiwa no 23: Tidak mengakui kalau Citra D. Vresti Trisna itu GANTENG.
Sakit Jiwa no 24: Usil
Sakit Jiwa no 25: Lebih sayang Orangutan ketimbang Manusia.
Sakit Jiwa no 26: Terlahir Jelek!
Sakit Jiwa no 27: Tua-tua keladi (hobby menikah)
Sakit Jiwa no 28: Diajak Bicara, ujungnya selalu bilang: aku loh cuek..
Sakit Jiwa no 29: Memilih lajang dan berpacaran dengan sabun.
Sakit Jiwa no 30: Pemarah, emosional.
Sakit Jiwa no 31: Tukang Nyontek.
Sakit Jiwa no 32: Menolak menolong Citra D. Vresti Trisna.
Sakit Jiwa no 33: Hyperactive.
Sakit Jiwa no 34: Loading Lama (Lola).
Sakit Jiwa no 35: Selalu ikut campur urusan orang (nyinyir)
Sakit Jiwa no 36: Menolak mandi dengan alasan takut dan kasihan membunuh jutaan kuman yang ada di badan.
Sakit Jiwa no 37: Sikap acuh di dalam transpotasi umum; membiarkan seorang nenek yang sudah mau pingsan terus berdiri, sementara kita duduk. Kemudian menatap sang nenek dengan sorot yang berarti: “Mampus lo, nek. Gitu mau latihan militer. Makanya sekarang latihan berdiri dulu.”
Sakit Jiwa no 38: Selalu menjadi actor utama ketinggalan pesawat.
Sakit Jiwa no 39: Senyum-senyum mistis ketika pesawat sedang lepas landas dan berkata: rasanya kaya pengen ee, ya?
Sakit Jiwa no 40: Berebut duduk di dekat jendela pesawat dan selalu bikin gaduh dengan pertanyaan-pertanyaan tidak penting.
Sakit Jiwa no 41: Memandang pramugari dengan penuh nafsu, seraya berkata: “Mas, pramugarine kok ayu-ayu, yo?”.
Sakit Jiwa no 42: Pelupa.
Sakit Jiwa no 43: Sering kehilangan HP.
Sakit Jiwa no 44: mampu bertahan dengan HP yang LCD-nya sudah remuk ¾ nya, selalu mem-forward SMS di HP-nya ke ponsel teman terdekatnya untuk sekedar membaca SMS, dan selalu merem melek ketika membalas SMS dengan maksud mengira-ngira kebenaran huruf yang sudah di ketikkan karena layer HP-nya gelap.
Sakit Jiwa no 45: Sok Cool di depan perempuan cantik.
Sakit Jiwa no 46: Menggoda seorang perempuan di kereta yang sedang sendirian karena di tinggal ibunya tidur dan mengajak seorang perempuan itu untuk duduk se-kursi dengannya dan memamerkan senyum penuh nepsong dan tatapan mata yang berarti: “sini-sini, gak sakit kok, cuma sobek dikit.”
Sakit Jiwa no 47: Hobby meminta maaf dengan maksud menyelesaikan masalah dan gak mau ribet.
Sakit Jiwa no 48: Menganggap kampus sebagai rumah pribadi, dan sekertariat sebagai kamar.
Sakit Jiwa no 49: Pakai Boxer di areal kampus tanpa kaus.
Sakit Jiwa no 50: Menganggap rokok Surya 12 sebagai perempuan cantik.
Ini adalah hasi; penelitian Prof. Citra cakep.
hasil penelitian bisa bertambah kapan saja.
Tidak ada yang tau bagaimana cara Tuhan bercanda dengan hidup kita. Mestinya hidup itu enak saja tidak usah ada susah. Kalau bisa kejahatan tidak usah masuk dalam istilah atau kamus hidup. Kebaikan, kebaikan dan kebaikan. Itu saja. Karena ketika kejahatan itu nyata, maka ada kemungkinan di tengah perjalanan membeli bola, kita dirampok orang, uang ludes, kita babak belur. Atau saat sedang asik menikmati kopi sambil tersenyum puas melihat bola yang baru saja kita beli, tetangga yang merasa iri tiba-tiba melempar kepala kita dengan batu. Ketenangan pun urung didapatkan; kepala kita benjol.
Kalau hidup nantinya harus tidak menyenangkan, masih perlukah kejahatan itu ada? Tapi, diperdebatkan pun rasanya percuma, karena kejahatan sudah menjadi kehendak tuhan untuk ada dikehidupan manusia sebagai teman.
Selalu ada yang coba menasehati saya tentang perlunya kajahatan itu ada. “Bagaimana kita tau sesuatu disebut ‘kebaikan’, kalau sebelumnya kita tidak pernah melihat wajah kejahatan?” Karena pertanyaan ini mengganggu suasana malamku yang teduh, kubantah pertanyaan itu.
“Mengapa kau tidak melacurkan istrimu dan kau germoi sendiri untuk sekedar tau apa itu prostitusi?” Tukasku. Kini dia nampak sedih. Wajahnya muram sambil bercerita dan mencoba mengingat-ingat perselingkuhan istrinya beberapa tahun lalu. Istrinya selingkuh dengan seorang polisi sampai ia hamil empat bulan. Dia hanya bisa marah tanpa pernah sanggup untuk menceraikannya hanya karena rasa sayangnya dengan istrinya. Rasa tanggung jawab dan sebuah keyakinan paling naif: cinta itu pembebasan. Meski pada akhirnya terdengar bodoh dan toh nyatanya itu terjadi juga. Bukan sebuah mimpi buruk yang mudah saja hilang sewaktu bangun. Ia nyata dan bukan hanya akan dialaminya sendiri, tapi mungkin juga akan menimpamu lima menit kemudian usai kau baca catatan ini. Dan semua orang dipaksa untuk sadar bila kebengisan hidup selalu mengintai hidup kita dan menunggu kita lengah untuk membuka pintu rumah kita.
Tapi, mungkin cita-cita kesenangan akan kita lalui dan kita usahakan agar tercapai. Mungkin karena itu banyak orang suka bola: suka berebut, ditonton, dicintai banyak orang. Karena pada dasarnya kita akan selalu saling berebut untuk kebahagiaan. Kita akan bertarung untuk sesuatu yang kita yakini kebenarannya. Atau kalau soal istri, kita bisa keloni dia sampai tua nanti, tapi diam-diam tanpa sepengetahuan orang sang istri, kita keloni istri orang lain. Kalau ada orang suci yang tidak terima dan merasa hidupnya suci dari hal macam ini, silahkan datang kemari. Kita duel sampai mati.
Kabarnya mahasiswa naas (baca: preman tengil) itu menendang bangku sampai terjungkir ketika tidak terima dengan keputusan presidium. Dia dikejar-kejar sekumpulan mahasiswa lain (yang juga preman) yang tidak terima dengan ulahnya – merasa kepentingan golongannya terganggu – sampai kemudian menghajarnya di depan pos satpam. Hingga sekumpulan satpam yang sedang menikmati malam sambil membicarakan kemolekan tubuh ayam-ayam di kampus terganggu karena keributan itu.
Karena nyoni satpam dan tingkat kepremanannya lebih tinggi dari sekumpulan preman angkatan muda yang belum baligh itu, maka keributan bisa diatasi. Massa membubarkan diri dengan menggerutu. Dan saya pun kecewa karena batal menyaksikan baku hantam preman kampus. Padahal malam itu saya sudah memasang taruhan dengan kawan saya: apakah keributan itu bisa menelan korban dan bakal ada drama penjara. Keributan berakhir dengan ending yang kurang dramatis. “Kejahatan” tampil dengan biasa saja.
Di kampus bunga, kejahatan dengan modus seperti ini sangat biasa terjadi. Korban dihakimi, dihajar, tanpa melawan, usai dan biasa-biasa saja. Tidak ada yang dengan jantan bicara layaknya seorang jawara dan unjuk keberanian: sayalah pelakunya. Kolektivitas dan kepicikan laku hidup menjadi hukum tak tertulis – semacam legitimasi atas kekerasan – dianut, dan terus tumbuh. Istilahnya kekerasan yang tumbuh subur di tanah dan kampung yang juga subur.
Kalau dalam komik dan cerita-cerita pendekar, situasi semacam ini tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu berangkat dan lahir dari situasi “jadah” yang bengis. Juga kemunafikan “mitos” agama yang lebay. Mestinya keadaan macam ini juga lahir dari konsepsi “harga diri” yang dibualkan untuk upaya eskapisme kolektif atas ketidakmungkinan hidup. Tapi, ini dunia nyata. Bukan komik dan buku cerita-cerita pendekar. Dan kebengisan kolektif macam ini ada dan biasa saja. Apa kita hidup di dunia komik? Atau sebenarnya keberadaan kampus bunga ini adalah inspirasi dari cerita-cerita pendekar?
Tapi cerita ini masih belum genap betul. Masih ada potongan menarik dari kampus bunga ini: yakni legenda seksualitas preman-preman mudanya. Kisah seksualitas preman muda kampus bunga ini kudapatkan dari sebuah artikel di sebuah blog. Dalam artikel ini digambarkan bila seksualitas bukan dirumahkan di sebuah pernikahan, tapi di dibebaskan sebebas-bebasnya. Cerita tentang mitos seksualitas kampus bunga ini sudah terdengar di berbagai belahan paha nusantara yang sebenarnya juga penuh panu.
Dan cerita tentang kampus bunga ini masih terus berlanjut. Kali ini kongres usai dan dilanjutin lagi besok. Mungkin besok ada mahasiswa yang akan benjol lagi, atau mungkin aku yang benjol karena keganasan preman di kampus bunga ini. Tidak ada yang tau. Semua orang yang datang kemari menjalani hidup dengan ketakutan-ketakutan yang tidak tau kapan akan berakhir. Kata orang, setelah kekerasan itu datang menimpa kita, tidak ada lagi ketakutan-ketakutan itu. Tapi kita lihat saja. Sebab tidak ada yang tahu kapan meletusnya ketakutan-ketakutan itu menjadi sebuah petaka. Setiap orang yang ingin belajar berani, mesti datang ke kampus bunga ini. Untuk benjol dan tidak takut lagi.
Desember 2011
Citra Dara Vresti Trisna
Senin, 28 November 2011
Di sebuah tempat
Di ruang waktu yang berbeda
Pada sebuah langkah dalam malam liar ini
Langkah kita dan malam kita
Langkah untuk menjadi pemenang
Dan malam untuk memaki
Kita berdua bersahutan
Mencerca hitam
Membentuk barisan dari angan-angan kita
Dan tertawa nyinyir pada nasib
Pada pekat kopi yang ikut menemani
Aku, kau dan putaran waktu
Ah…
Aku benci pada waktu yang tak bersahabat
Seolah tak adil atas kantuknya bintang
Kumaki gegap malam ini
Harusnya kucekcoki saja dengan kopi
Semua merambah kecut hatiku
Melihat pagi
[]
Sidoarjo, 2010
Tulus Hajianto
Sabtu, 30 Juli 2011
buat santai-santai aja. dengerin gk bakal nyesel :)
Den Basitho-Sahabat.mp3
Tony Q Rastafara ft Krisdayanti - Cintaku.mp3
bang Iwan Fals aja ngerreggae :D
Iwan Fals - Mabuk cinta.mp3
Rabu, 15 Juni 2011
Kalau saja dunia yang kita tempati ini sebuah cerita kartun, akankah kita masih mengenal kesedihan? Sungguh, sesuatu yang akan benar – benar indah dan membuat kita terlepas dari semua beban yang menggantung di kedalaman kita. Ah, andai saja…
Bagi kami, “urip songo” (hidup enak) itu, bersandar di kursi nyaman dengan menikmati secangkir kopi dan rokok, focus pada sebuah music santai sambil memandangi hijaunya alam atau birunya laut. Dan sepertinya tak seberapa jauh beda dengan hidup enak versi mereka yang bukan para candu nikotin dan ampas kopi seperti kami. Bolehlah seperti apa hidup enak versi setiap individu. Sedangkan bagi mereka yang masokis pun tetap saja sejalan dengan kenyamanan versi mereka sendiri, tak berbeda. Terlepas dari bagaimana tiap individu mengeksplor pikirannya tentang hidup enak dengan berbagai versi, satu yang jelas bahwa tiap individu selalu menginginkan sesuatu yang disebut dengan HAK. Hak yang membuat kita nyaman, damai, layak, yang selalu kita sebut Hak untuk hidup. Hak enak dan tak alot tentunya.
Lalu ingatkah kita tentang pelajaran Agama dan Pkn kita semasa sekolah dulu, bagaimana kita belajar menempatkan antara Hak dan Kewajiban? Atau kah kita yang sudah lupa dan memang sengaja melupakan perihal tersebut? Sehingga kita tak sadar bergerak melalui keegoisan kita atas nama Hak. Hak yang selama ini kita kenal, melekat erat pada ke egoisan diri kita, yang seringkali membuat kita menjadi makluk dengan seribu tuntutan atas hidup, atas masalah kita, sekali lagi atas nama Hak. Hak yang telah lama membuat kita hanya sekedar mencari pembenaran untuk memberikan rasa aman terhadap diri kita sendiri.
Ah, bukankah kita sarat menjadi sombong atas diri kita yang selalu membawa – bawa Hak menyikapi realita. Sadar atau tidak, bukankah sebenarnya sumber masalah dari kesedihan kita kebanyakan adalah diri kita sendiri, yaitu kita yang selalu melihat suatu masalah cenderung dalam sudut pandang yang sempit. Kita yang tak pernah berniat untuk melihat masalah itu lebih jernih, jauh, dan mendalam, melainkan hanya sekedarnya untuk melindungi kepentingan dan harapan diri sendiri. Dan lagi, kecenderungan macam itu telah menyempitkan cakrawala pandangan kita terhadap sesuatu yang sering kita lupa, atau mungkin sudah kita lupakan, yaitu Kewajiban.
Marilah kita berjalan, sekedar mengedarkan pandang terhadap trouble maker nya kehidupan, sadarkah kita untuk berpikir sejauh mana kita bisa mendahulukan kesekian kalinya antara Hak dan Kewajiban. Sadarkah kita bahwa teori selama ini selalu benar. Teori Agama dan Kewarganegaraan yang mendahulukan Kewajiban. Bukankah sudah jelas ajaran kedua ilmu tersebut yang menekankan KEWAJIBAN MENDAHULUI HAK.
Ataukah mungkin hanya karena kita adalah manusia yang naïf, yang tak bisa merasa dan peka lantaran perut kita perlu di isi sebagai tuntutan kita menyambut datangnya pagi, dengan mudahnya membuat kita melupakan penempatan yang tepat untuk Kewajiban, dan memastikan lebih dulu apakah Hak kita sudah sesuai atau belum. Ataukah juga karena kita yang terlalu berjiwa kritis , terlalu menjiwai diri sebagai seorang manusia sehingga membuat kita terjebak pada tindakan memihak dan tidak memihak (subyektifitas & obyektifitas) Hak dan Kewajiban, sehingga Hak selalu lebih berkuasa dari pada Kewajiban.
Tak cukup kah kita melihat berbagai variasi perlawanan kaum Negeri ini, baik dari masyarakat, ormas, mahasiswa, dan juga suporter sepak bola yang berteriak mengedepankan Hak diatas kewajiban bukan menyeimbangkan keduanya melalui Kewajiban terlebih dahulu. Menuntut terjadinya perubahan sesuai keinginan tanpa membeberkan tindakan nyata dari Kewajiban mereka. Tindakan nyata dari apa – apa yang sudah mereka lakukan untuk tuntutan mereka.
Lihatlah bagaimana ketiga elemen masyarakat kita ini yang terlalu congkak pada tuntutan Hak mereka. Tentang seperti apa kaum bawah meminta Hak untuk hidup layak tanpa keseimbangan dari usaha mereka mencapai hidup layak sebagai bentuk Kewajiban mereka, dan juga tentang kaum menengah yang meminta Hak kesejahteraan hidup yang semakin layak seperti kaum atas tanpa memperdulikan kaum bawah sebagai suatu Kewajiban mereka untuk menjembatani komunikasi antara atas dan bawah, serta sombongnya kaum atas yang meminta Hak atas kekuasaan yang seringkali membuat mereka terkotak dalam pola hidup hedonisme dan dengan mudahnya melupakan Kewajiban membela Hak – Hak kaum dibawahnya.
Dan lihatlah pula tuntutan dari ormas – ormas berbasis Agama yang menuntut Hak dari pemikiran egois mereka tanpa memperlihatkan langkah konkrit Kewajiban mereka sebagai kaum beragama. Ataulah para calon – calon penerus bangsa, dengan nama mahasiswa yang secara tak langsung bersikap plin – plan terhadap tuntutan mereka, bahkan kalau dalam tolak ukur sudahlah pasti tuntutan mereka hanya sebatas 40% dibandingkan niat lain mereka, yaitu Hak bebas berpendapat, Hak ingin diakui, Hak melakukan pengrusakan, Hak bersandiwara atas dasar rakyat. Lalu, semudah itukah para mahasiswa melupakan Kewajiban mereka sebagai orang berpendidikan. Dan juga lebihkah penting para suporter sepak bola menuntut Hak kemenangan terhadap apa yang mereka dukung tanpa mendahulukan Kewajibaan sebagai supporter yang bijak dengan tidak berbuat keonaran.
lelucon macam apa lagi yang akan kita mainkan diatas Hak?
Masih layak kah kita sedih atas masalah kita lantas merongrong Hak kita terlebih dahulu?
Sungguh, percayalah. Pancasila tak dibuat secara sembarangan…
TULUS H