Aku benci sepak bola. Permainan purba, dimana sekumpulan orang dengan seragam yang sama, berlarian dan berebut bola dan berusaha memasukkan ke gawang lawan. Sebuah tingkah kekanak-kanakan, menurutku; yang setiap kali bermain, selalu didukung ribuan suporter. Mengapa tidak membeli bola ke toko terdekat, dan sepulangnya senyum-senyum melihat bola di tangan tanpa ada yang berusaha merebut. Hidup pun tenang: ngopi, merokok dan menikmati sore. Tapi, apa sebegitu mudahnya menjalani hidup?
Tidak ada yang tau bagaimana cara Tuhan bercanda dengan hidup kita. Mestinya hidup itu enak saja tidak usah ada susah. Kalau bisa kejahatan tidak usah masuk dalam istilah atau kamus hidup. Kebaikan, kebaikan dan kebaikan. Itu saja. Karena ketika kejahatan itu nyata, maka ada kemungkinan di tengah perjalanan membeli bola, kita dirampok orang, uang ludes, kita babak belur. Atau saat sedang asik menikmati kopi sambil tersenyum puas melihat bola yang baru saja kita beli, tetangga yang merasa iri tiba-tiba melempar kepala kita dengan batu. Ketenangan pun urung didapatkan; kepala kita benjol.
Kalau hidup nantinya harus tidak menyenangkan, masih perlukah kejahatan itu ada? Tapi, diperdebatkan pun rasanya percuma, karena kejahatan sudah menjadi kehendak tuhan untuk ada dikehidupan manusia sebagai teman.
Selalu ada yang coba menasehati saya tentang perlunya kajahatan itu ada. “Bagaimana kita tau sesuatu disebut ‘kebaikan’, kalau sebelumnya kita tidak pernah melihat wajah kejahatan?” Karena pertanyaan ini mengganggu suasana malamku yang teduh, kubantah pertanyaan itu.
“Mengapa kau tidak melacurkan istrimu dan kau germoi sendiri untuk sekedar tau apa itu prostitusi?” Tukasku. Kini dia nampak sedih. Wajahnya muram sambil bercerita dan mencoba mengingat-ingat perselingkuhan istrinya beberapa tahun lalu. Istrinya selingkuh dengan seorang polisi sampai ia hamil empat bulan. Dia hanya bisa marah tanpa pernah sanggup untuk menceraikannya hanya karena rasa sayangnya dengan istrinya. Rasa tanggung jawab dan sebuah keyakinan paling naif: cinta itu pembebasan. Meski pada akhirnya terdengar bodoh dan toh nyatanya itu terjadi juga. Bukan sebuah mimpi buruk yang mudah saja hilang sewaktu bangun. Ia nyata dan bukan hanya akan dialaminya sendiri, tapi mungkin juga akan menimpamu lima menit kemudian usai kau baca catatan ini. Dan semua orang dipaksa untuk sadar bila kebengisan hidup selalu mengintai hidup kita dan menunggu kita lengah untuk membuka pintu rumah kita.
Tapi, mungkin cita-cita kesenangan akan kita lalui dan kita usahakan agar tercapai. Mungkin karena itu banyak orang suka bola: suka berebut, ditonton, dicintai banyak orang. Karena pada dasarnya kita akan selalu saling berebut untuk kebahagiaan. Kita akan bertarung untuk sesuatu yang kita yakini kebenarannya. Atau kalau soal istri, kita bisa keloni dia sampai tua nanti, tapi diam-diam tanpa sepengetahuan orang sang istri, kita keloni istri orang lain. Kalau ada orang suci yang tidak terima dan merasa hidupnya suci dari hal macam ini, silahkan datang kemari. Kita duel sampai mati.
Tidak ada yang tau bagaimana cara Tuhan bercanda dengan hidup kita. Mestinya hidup itu enak saja tidak usah ada susah. Kalau bisa kejahatan tidak usah masuk dalam istilah atau kamus hidup. Kebaikan, kebaikan dan kebaikan. Itu saja. Karena ketika kejahatan itu nyata, maka ada kemungkinan di tengah perjalanan membeli bola, kita dirampok orang, uang ludes, kita babak belur. Atau saat sedang asik menikmati kopi sambil tersenyum puas melihat bola yang baru saja kita beli, tetangga yang merasa iri tiba-tiba melempar kepala kita dengan batu. Ketenangan pun urung didapatkan; kepala kita benjol.
Kalau hidup nantinya harus tidak menyenangkan, masih perlukah kejahatan itu ada? Tapi, diperdebatkan pun rasanya percuma, karena kejahatan sudah menjadi kehendak tuhan untuk ada dikehidupan manusia sebagai teman.
Selalu ada yang coba menasehati saya tentang perlunya kajahatan itu ada. “Bagaimana kita tau sesuatu disebut ‘kebaikan’, kalau sebelumnya kita tidak pernah melihat wajah kejahatan?” Karena pertanyaan ini mengganggu suasana malamku yang teduh, kubantah pertanyaan itu.
“Mengapa kau tidak melacurkan istrimu dan kau germoi sendiri untuk sekedar tau apa itu prostitusi?” Tukasku. Kini dia nampak sedih. Wajahnya muram sambil bercerita dan mencoba mengingat-ingat perselingkuhan istrinya beberapa tahun lalu. Istrinya selingkuh dengan seorang polisi sampai ia hamil empat bulan. Dia hanya bisa marah tanpa pernah sanggup untuk menceraikannya hanya karena rasa sayangnya dengan istrinya. Rasa tanggung jawab dan sebuah keyakinan paling naif: cinta itu pembebasan. Meski pada akhirnya terdengar bodoh dan toh nyatanya itu terjadi juga. Bukan sebuah mimpi buruk yang mudah saja hilang sewaktu bangun. Ia nyata dan bukan hanya akan dialaminya sendiri, tapi mungkin juga akan menimpamu lima menit kemudian usai kau baca catatan ini. Dan semua orang dipaksa untuk sadar bila kebengisan hidup selalu mengintai hidup kita dan menunggu kita lengah untuk membuka pintu rumah kita.
Tapi, mungkin cita-cita kesenangan akan kita lalui dan kita usahakan agar tercapai. Mungkin karena itu banyak orang suka bola: suka berebut, ditonton, dicintai banyak orang. Karena pada dasarnya kita akan selalu saling berebut untuk kebahagiaan. Kita akan bertarung untuk sesuatu yang kita yakini kebenarannya. Atau kalau soal istri, kita bisa keloni dia sampai tua nanti, tapi diam-diam tanpa sepengetahuan orang sang istri, kita keloni istri orang lain. Kalau ada orang suci yang tidak terima dan merasa hidupnya suci dari hal macam ini, silahkan datang kemari. Kita duel sampai mati.
0 komentar:
Posting Komentar