Seorang mahasiswa dipukuli sampai kepalanya benjol saat kongres untuk pemilihan SEMA baru di sebuah kampus preman. Sebut saja bunga (bukan nama kampus yang sebenarnya) untuk menjaga nama baik humasnya, dan yang terpenting agar kampusnya terus laku.
Kabarnya mahasiswa naas (baca: preman tengil) itu menendang bangku sampai terjungkir ketika tidak terima dengan keputusan presidium. Dia dikejar-kejar sekumpulan mahasiswa lain (yang juga preman) yang tidak terima dengan ulahnya – merasa kepentingan golongannya terganggu – sampai kemudian menghajarnya di depan pos satpam. Hingga sekumpulan satpam yang sedang menikmati malam sambil membicarakan kemolekan tubuh ayam-ayam di kampus terganggu karena keributan itu.
Karena nyoni satpam dan tingkat kepremanannya lebih tinggi dari sekumpulan preman angkatan muda yang belum baligh itu, maka keributan bisa diatasi. Massa membubarkan diri dengan menggerutu. Dan saya pun kecewa karena batal menyaksikan baku hantam preman kampus. Padahal malam itu saya sudah memasang taruhan dengan kawan saya: apakah keributan itu bisa menelan korban dan bakal ada drama penjara. Keributan berakhir dengan ending yang kurang dramatis. “Kejahatan” tampil dengan biasa saja.
Di kampus bunga, kejahatan dengan modus seperti ini sangat biasa terjadi. Korban dihakimi, dihajar, tanpa melawan, usai dan biasa-biasa saja. Tidak ada yang dengan jantan bicara layaknya seorang jawara dan unjuk keberanian: sayalah pelakunya. Kolektivitas dan kepicikan laku hidup menjadi hukum tak tertulis – semacam legitimasi atas kekerasan – dianut, dan terus tumbuh. Istilahnya kekerasan yang tumbuh subur di tanah dan kampung yang juga subur.
Kalau dalam komik dan cerita-cerita pendekar, situasi semacam ini tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu berangkat dan lahir dari situasi “jadah” yang bengis. Juga kemunafikan “mitos” agama yang lebay. Mestinya keadaan macam ini juga lahir dari konsepsi “harga diri” yang dibualkan untuk upaya eskapisme kolektif atas ketidakmungkinan hidup. Tapi, ini dunia nyata. Bukan komik dan buku cerita-cerita pendekar. Dan kebengisan kolektif macam ini ada dan biasa saja. Apa kita hidup di dunia komik? Atau sebenarnya keberadaan kampus bunga ini adalah inspirasi dari cerita-cerita pendekar?
Tapi cerita ini masih belum genap betul. Masih ada potongan menarik dari kampus bunga ini: yakni legenda seksualitas preman-preman mudanya. Kisah seksualitas preman muda kampus bunga ini kudapatkan dari sebuah artikel di sebuah blog. Dalam artikel ini digambarkan bila seksualitas bukan dirumahkan di sebuah pernikahan, tapi di dibebaskan sebebas-bebasnya. Cerita tentang mitos seksualitas kampus bunga ini sudah terdengar di berbagai belahan paha nusantara yang sebenarnya juga penuh panu.
Dan cerita tentang kampus bunga ini masih terus berlanjut. Kali ini kongres usai dan dilanjutin lagi besok. Mungkin besok ada mahasiswa yang akan benjol lagi, atau mungkin aku yang benjol karena keganasan preman di kampus bunga ini. Tidak ada yang tau. Semua orang yang datang kemari menjalani hidup dengan ketakutan-ketakutan yang tidak tau kapan akan berakhir. Kata orang, setelah kekerasan itu datang menimpa kita, tidak ada lagi ketakutan-ketakutan itu. Tapi kita lihat saja. Sebab tidak ada yang tahu kapan meletusnya ketakutan-ketakutan itu menjadi sebuah petaka. Setiap orang yang ingin belajar berani, mesti datang ke kampus bunga ini. Untuk benjol dan tidak takut lagi.
Desember 2011
Citra Dara Vresti Trisna
Kabarnya mahasiswa naas (baca: preman tengil) itu menendang bangku sampai terjungkir ketika tidak terima dengan keputusan presidium. Dia dikejar-kejar sekumpulan mahasiswa lain (yang juga preman) yang tidak terima dengan ulahnya – merasa kepentingan golongannya terganggu – sampai kemudian menghajarnya di depan pos satpam. Hingga sekumpulan satpam yang sedang menikmati malam sambil membicarakan kemolekan tubuh ayam-ayam di kampus terganggu karena keributan itu.
Karena nyoni satpam dan tingkat kepremanannya lebih tinggi dari sekumpulan preman angkatan muda yang belum baligh itu, maka keributan bisa diatasi. Massa membubarkan diri dengan menggerutu. Dan saya pun kecewa karena batal menyaksikan baku hantam preman kampus. Padahal malam itu saya sudah memasang taruhan dengan kawan saya: apakah keributan itu bisa menelan korban dan bakal ada drama penjara. Keributan berakhir dengan ending yang kurang dramatis. “Kejahatan” tampil dengan biasa saja.
Di kampus bunga, kejahatan dengan modus seperti ini sangat biasa terjadi. Korban dihakimi, dihajar, tanpa melawan, usai dan biasa-biasa saja. Tidak ada yang dengan jantan bicara layaknya seorang jawara dan unjuk keberanian: sayalah pelakunya. Kolektivitas dan kepicikan laku hidup menjadi hukum tak tertulis – semacam legitimasi atas kekerasan – dianut, dan terus tumbuh. Istilahnya kekerasan yang tumbuh subur di tanah dan kampung yang juga subur.
Kalau dalam komik dan cerita-cerita pendekar, situasi semacam ini tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu berangkat dan lahir dari situasi “jadah” yang bengis. Juga kemunafikan “mitos” agama yang lebay. Mestinya keadaan macam ini juga lahir dari konsepsi “harga diri” yang dibualkan untuk upaya eskapisme kolektif atas ketidakmungkinan hidup. Tapi, ini dunia nyata. Bukan komik dan buku cerita-cerita pendekar. Dan kebengisan kolektif macam ini ada dan biasa saja. Apa kita hidup di dunia komik? Atau sebenarnya keberadaan kampus bunga ini adalah inspirasi dari cerita-cerita pendekar?
Tapi cerita ini masih belum genap betul. Masih ada potongan menarik dari kampus bunga ini: yakni legenda seksualitas preman-preman mudanya. Kisah seksualitas preman muda kampus bunga ini kudapatkan dari sebuah artikel di sebuah blog. Dalam artikel ini digambarkan bila seksualitas bukan dirumahkan di sebuah pernikahan, tapi di dibebaskan sebebas-bebasnya. Cerita tentang mitos seksualitas kampus bunga ini sudah terdengar di berbagai belahan paha nusantara yang sebenarnya juga penuh panu.
Dan cerita tentang kampus bunga ini masih terus berlanjut. Kali ini kongres usai dan dilanjutin lagi besok. Mungkin besok ada mahasiswa yang akan benjol lagi, atau mungkin aku yang benjol karena keganasan preman di kampus bunga ini. Tidak ada yang tau. Semua orang yang datang kemari menjalani hidup dengan ketakutan-ketakutan yang tidak tau kapan akan berakhir. Kata orang, setelah kekerasan itu datang menimpa kita, tidak ada lagi ketakutan-ketakutan itu. Tapi kita lihat saja. Sebab tidak ada yang tahu kapan meletusnya ketakutan-ketakutan itu menjadi sebuah petaka. Setiap orang yang ingin belajar berani, mesti datang ke kampus bunga ini. Untuk benjol dan tidak takut lagi.
Desember 2011
Citra Dara Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar