Rabu, 15 Juni 2011

Posted by forumjumatmalam | File under :

Kalau saja dunia yang kita tempati ini sebuah cerita kartun, akankah kita masih mengenal kesedihan? Sungguh, sesuatu yang akan benar – benar indah dan membuat kita terlepas dari semua beban yang menggantung di kedalaman kita. Ah, andai saja…

Bagi kami, “urip songo” (hidup enak) itu, bersandar di kursi nyaman dengan menikmati secangkir kopi dan rokok, focus pada sebuah music santai sambil memandangi hijaunya alam atau birunya laut. Dan sepertinya tak seberapa jauh beda dengan hidup enak versi mereka yang bukan para candu nikotin dan ampas kopi seperti kami. Bolehlah seperti apa hidup enak versi setiap individu. Sedangkan bagi mereka yang masokis pun tetap saja sejalan dengan kenyamanan versi mereka sendiri, tak berbeda. Terlepas dari bagaimana tiap individu mengeksplor pikirannya tentang hidup enak dengan berbagai versi, satu yang jelas bahwa tiap individu selalu menginginkan sesuatu yang disebut dengan HAK. Hak yang membuat kita nyaman, damai, layak, yang selalu kita sebut Hak untuk hidup. Hak enak dan tak alot tentunya.

Lalu ingatkah kita tentang pelajaran Agama dan Pkn kita semasa sekolah dulu, bagaimana kita belajar menempatkan antara Hak dan Kewajiban? Atau kah kita yang sudah lupa dan memang sengaja melupakan perihal tersebut? Sehingga kita tak sadar bergerak melalui keegoisan kita atas nama Hak. Hak yang selama ini kita kenal, melekat erat pada ke egoisan diri kita, yang seringkali membuat kita menjadi makluk dengan seribu tuntutan atas hidup, atas masalah kita, sekali lagi atas nama Hak. Hak yang telah lama membuat kita hanya sekedar mencari pembenaran untuk memberikan rasa aman terhadap diri kita sendiri.

Ah, bukankah kita sarat menjadi sombong atas diri kita yang selalu membawa – bawa Hak menyikapi realita. Sadar atau tidak, bukankah sebenarnya sumber masalah dari kesedihan kita kebanyakan adalah diri kita sendiri, yaitu kita yang selalu melihat suatu masalah cenderung dalam sudut pandang yang sempit. Kita yang tak pernah berniat untuk melihat masalah itu lebih jernih, jauh, dan mendalam, melainkan hanya sekedarnya untuk melindungi kepentingan dan harapan diri sendiri. Dan lagi, kecenderungan macam itu telah menyempitkan cakrawala pandangan kita terhadap sesuatu yang sering kita lupa, atau mungkin sudah kita lupakan, yaitu Kewajiban.

Marilah kita berjalan, sekedar mengedarkan pandang terhadap trouble maker nya kehidupan, sadarkah kita untuk berpikir sejauh mana kita bisa mendahulukan kesekian kalinya antara Hak dan Kewajiban. Sadarkah kita bahwa teori selama ini selalu benar. Teori Agama dan Kewarganegaraan yang mendahulukan Kewajiban. Bukankah sudah jelas ajaran kedua ilmu tersebut yang menekankan KEWAJIBAN MENDAHULUI HAK.

Ataukah mungkin hanya karena kita adalah manusia yang naïf, yang tak bisa merasa dan peka lantaran perut kita perlu di isi sebagai tuntutan kita menyambut datangnya pagi, dengan mudahnya membuat kita melupakan penempatan yang tepat untuk Kewajiban, dan memastikan lebih dulu apakah Hak kita sudah sesuai atau belum. Ataukah juga karena kita yang terlalu berjiwa kritis , terlalu menjiwai diri sebagai seorang manusia sehingga membuat kita terjebak pada tindakan memihak dan tidak memihak (subyektifitas & obyektifitas) Hak dan Kewajiban, sehingga Hak selalu lebih berkuasa dari pada Kewajiban.

Tak cukup kah kita melihat berbagai variasi perlawanan kaum Negeri ini, baik dari masyarakat, ormas, mahasiswa, dan juga suporter sepak bola yang berteriak mengedepankan Hak diatas kewajiban bukan menyeimbangkan keduanya melalui Kewajiban terlebih dahulu. Menuntut terjadinya perubahan sesuai keinginan tanpa membeberkan tindakan nyata dari Kewajiban mereka. Tindakan nyata dari apa – apa yang sudah mereka lakukan untuk tuntutan mereka.

Lihatlah bagaimana ketiga elemen masyarakat kita ini yang terlalu congkak pada tuntutan Hak mereka. Tentang seperti apa kaum bawah meminta Hak untuk hidup layak tanpa keseimbangan dari usaha mereka mencapai hidup layak sebagai bentuk Kewajiban mereka, dan juga tentang kaum menengah yang meminta Hak kesejahteraan hidup yang semakin layak seperti kaum atas tanpa memperdulikan kaum bawah sebagai suatu Kewajiban mereka untuk menjembatani komunikasi antara atas dan bawah, serta sombongnya kaum atas yang meminta Hak atas kekuasaan yang seringkali membuat mereka terkotak dalam pola hidup hedonisme dan dengan mudahnya melupakan Kewajiban membela Hak – Hak kaum dibawahnya.

Dan lihatlah pula tuntutan dari ormas – ormas berbasis Agama yang menuntut Hak dari pemikiran egois mereka tanpa memperlihatkan langkah konkrit Kewajiban mereka sebagai kaum beragama. Ataulah para calon – calon penerus bangsa, dengan nama mahasiswa yang secara tak langsung bersikap plin – plan terhadap tuntutan mereka, bahkan kalau dalam tolak ukur sudahlah pasti tuntutan mereka hanya sebatas 40% dibandingkan niat lain mereka, yaitu Hak bebas berpendapat, Hak ingin diakui, Hak melakukan pengrusakan, Hak bersandiwara atas dasar rakyat. Lalu, semudah itukah para mahasiswa melupakan Kewajiban mereka sebagai orang berpendidikan. Dan juga lebihkah penting para suporter sepak bola menuntut Hak kemenangan terhadap apa yang mereka dukung tanpa mendahulukan Kewajibaan sebagai supporter yang bijak dengan tidak berbuat keonaran.

lelucon macam apa lagi yang akan kita mainkan diatas Hak?

Masih layak kah kita sedih atas masalah kita lantas merongrong Hak kita terlebih dahulu?

Sungguh, percayalah. Pancasila tak dibuat secara sembarangan…


TULUS H

Selasa, 14 Juni 2011

Posted by forumjumatmalam | File under :

Bukankah pada sebuah goresan selalu tersemat sebuah cerita ?

Seperti sebuah goresan pada kaki ini, tentu saja mempunyai kesan yang dapat mengembalikanku pada awal mulanya sebuah pilihan untuk masuk ke dalam dunia baru. Dunia kepencinta alaman.

Berawal dari iseng-iseng yang kulakukan, bersama ketiga teman yang kupikir sama-sama nekat atau malah tolol. Aku tak akan menyangka bahwa keisengan ku membawaku pada sebuah goresan yang akan kukenang. Goresan alam pertamaku.

Arjuno. Aku tak pernah tahu seperti apa keaslian sebuah gunung, selain hanya dari cerita kakakku yang pernah mendaki, yang kutahu gunung hanya serupa tumpeng raksasa. Tak lebih.

Saat itu, entah bagaimana aku menyepakati ajakan seorang kawan sekelas untuk melakukan perjalanan pendakian, aku tak tahu awalnya, yang pasti dan jelas sudah ada dua peserta perjalanan lainnya yang juga sekelas. Kami sepakat, maka libur tiga hari menjadi waktu yang tepat.

Semua siap. Kami ber-empat pun berangkat. Perjalanan di mulai dari rumahku , karena rumahkulah yang paling dekat dengan terminal yang menjadi tujuan pertama kami.

#

Purabaya. Suara bising bus, calo, dan nyanyian pengamen, bau pesing, keringat, dan sampah. Inilah terminal kebanggaan kota Surabaya, dan aku tak akan banyak cerita tentang hal ini.
Bus berangkat menuju kota dingin Pandakan.

Terminal kota Pandakan. Tak jauh berbeda suasana dengan terminal purabaya selain luasnya. Entah, kupikir, apakah sama semua wajah terminal-terminal di Negara indah ini. Ah, sudahlah, aku tak mau mengganggu perjalanan ini dengan larut pada bentuk-bentuk abstrak terminal.

Segera, kami sepakat mencari jawaban kemana langkah kaki kami selanjutnya, dengan sedikit bertanya, kini kami sudah berada angkutan antara desa, serupa colt atau entahlah apa namanya. Tak lama kami berada dalam kendaraan ini, kami sudah berada di kaki gunung Arjuno.

#

Pos perijinan. Setelah sedikit administrasi ini itu, kami melangkah. Langkah awal kami pada sebuah cerita baru dalam kegiatan alam. Ya, diantara kami ber-empat, tak ada satupun yang pernah melakukan pendakian gunung, hanya bermodal nekat dan cerita bagaimana rupa gunung Arjuno. Itu saja.

Perjalanan mendaki kami dimulai dari wahana wisata “kakek bodo”, wahana yang menonjolkan selain keindahan air terjun, juga menonjolkan kesepiannya untuk para pecandu nikmat (sepasang kekasih). Bukan karena memang kami yang sengaja memulai perjalanan dari sini, tapi lebih karena kami yang kuper letak asli sebuah pos perijinan umum para pendaki, atau kini yang biasa ku sebut dengan pak Tompul.

15 menit kabar yang kami dapat dari penjaga pos dari wisata ini untuk melintasi wisata kakek bodo menuju pos pertama pet bocor, dan dengan sedikit bertanya pada para pedagang asongan kami memantapkan langkah untuk menuju kesana.

#

Pet bocor. 15 menit bukanlah waktu yang cukup bagi para pendaki amatiran macam kami, kurasa hampir 1 jam kami perlukan dari perkiraan soal waktu awal menuju Pet bocor. Ngos-ngosan.

Maka, tak salah kenapa dinamakan Pet bocor, karena memang di situ terdapat saluran pipa besi yang bocor menyemprotkan air gunung dengan deras. Entah siapa yang menamai dengan sebutan pet bocor. Sedikit aneh.

Di pet bocor ini kami tak sendiri, kami bertemu dengan enam orang rombongan pendaki sebaya lain. Saling menyapa. Rombongan yang kami tahu berasal dari kota yang sama, atau malah masih tetangga desa ini mengajak kami melakukan perjalanan pendakian bersama. Karena kami yang tak kenal medan jalan, tanpa pikir panjang seorang kawan penggagas ekspedisi kami dan kami anggap sebagai pentolan rombongan langsung mengiyakan., tanpa perduli komentar kami bertiga yang “emoh-emohan” berjalan bersama mereka. Apa daya, pemimpin sudah berkata, maka kami bertiga yang sedikit enggan pun mau tak mau menurut, hanya menyisakan sedikit gerutuan-gerutuan kecil dibelakang.

Sebenarnya, bukan masalah karena kami bertiga terlalu sombong untuk berjalan sendiri, tapi lebih karena kami murni merasa tak nyaman dengan orang yang baru kami kenal. Kami bukanlah orang yang mudah percaya pada orang lain. Itu saja.

(maaf). Dan kalau boleh bukan maksud, hanya sedikit ungkapan hatiku waktu itu. Sungguh, kebanyakan wajah-wajah mereka (maaf) tak bersahabat. @#$$#$%^&(*^%

#

Perjalanan berlanjut. Tujuan selanjutnya adalah pos kedua “Kop-kopan”. Sedikit banyak ngobrol dengan teman-teman baru kami, membuat kami tahu bahwa kebanyakan dari rombongan mereka juga masih newbie dalam hal pendakian, kecuali dua orang yang katanya sudah pernah muncak di G.Arjuno. kabar baik, dan sedikit melegakan.

Sore menjelang malam.

Bunyi genderang langkah kami, deru nafas, dan tabuhan jantung yang ber-ngerock ria menjawab bagaimana rasanya mendaki gunung, bahkan ini lebih parah dari yang ku rasakan saat menuju ke pos pertama di Pet bocor tadi. Perjalanan ini terasa berat dan lama bagi kami para pemula.

Malam menyaru. Lelah.

Dingin mengedar. Lelah berlipat.

Sungguh, aku rindu sengat matahari. Sedikit menyesal, pikiranku berlabuh pada kasur empuk dirumah dan selimut hangat ketika kulihat kerlip lampu-lampu kota dari atas selama perjalanan. Ingin rasanya berbalik dan berlari pulang. Tapi apa aku bisa dan cukup berani. Semua menguap tak berarti. Lampu-lampu kota tersebut hanya melecehkan tindak penyesalanku (T.T), dan entah bagaimana dengan pemikiran kawan-kawanku yang lain. Aku sibuk dengan diriku sendiri. Sibuk menyesal. Sibuk mengatasi rasa dingin dan lelah. Keegoisan yang sempurna

Waktu begitu rahasia. Entah sudah berapa lama kami berjalan. Bahkan kupikir kami akan menghabiskan malam ini bersama lelah. Kanan-kiri dan masih tetap menanjak. Hanya taburan bintang dan kerlip lampu-lampu kota yang kadang terlihat sebagai hadiah kecil untuk perjalanan malam ini.

Kami semua berjalan dalam diam, dan mungkin hanya beberapa kata untuk obrolan yang penting. Dan kadang tercium bau “nafas naga”.

Kabar baik datang. Seorang dari rombongan kawan baru bilang perjalanan akan segera berakhir, yang itu artinya kita akan segera sampai pada pos kedua, yaitu Kop-kopan.

Jantungku berdegup lebih santai, sesantai alunan music reggae. Memompa aliran darah dengan deras dan lebih teratur. Aliran darah mengalir membawa pesan gembira pada otak dan persendian organ tubuh. Lalu otak dan organ tubuh berkerjasama membangun kekuatan, dan mengubahnya menjadi energy dan pancaran semangat baru yang sudah pudar.

#

Kop-kopan. Kami melepas lelah dan menghabiskan malam ini disini. Segera sebelum uap hangat keringat tak mampu lagi membantu meredam dingin, kami mencari tempat datar dan membongkar salah satu carrier lalu mengeluarkan tenda. Tak ingin berlama-lama dengan selimut angin malam, kami membangunnya dan masuk kedalam. Kami semua hanya menempati satu tenda, karena tenda yang di bawa kawanku adalah tenda angkatan yang muat untuk 8-10 orang dengan dua sisi pintu yang tak bisa terkatup sempurna, maka kami membagi spase pada rombongan kawan baru kami. Selain tempat yang masih muat banyak walaupun sudah diisi rombongan kami ber-empat dan barang/logistic kami, kukira tidur bermepet-mepetan adalah solusi dari kedinginan?

Kami sudah pada posisi tidur senyaman mungkin. Dan kami sudah tak berkeringat lagi untuk meredam rasa dingin seperti setelah berjalan tadi. Maka, yang kurasa penderitanan dari lelah dan kantuk pun selesai ternyata masih belum. Penderitaan baru kami adalah rasa dingin yang ngilu. Teramat ngilu, terlebih karena diantara kami ber-empat tak ada satupun yang membawa jaket tebal yang cukup mengatasi hawa dingin. Sedangkan aku sendiri hanya membawa satu sweater tipis, dua kaos oblong dan, sebuah celana panjang kain, serta beberapa pakaian dalam yang sangat tidak membantu dalam hal menghangatkan tubuh. Dingin yang sempurna untuk membuat irama dari gigi-gigiku yang beradu.

Malam pun semakin panjang. Aku tak kenal hari apa saat itu. Yang kutahu hanya berusaha melingkarkan badan dengan berdusel pada kawanku. Otakku beku. Bagaimana dengan kawan ku yang lain? Aku tak tahu. Aku sibuk. Sekali lagi, keegoisan yang sempurna.

Dingin. Semakin membuatku menyesal ikut dalam pendakian ini. Aku rindu pulang. Dan aku lapar.

Dan tak ada yang bisa kulakukan selain hanya bertahan dalam rasa dingin dan lapar, mengeja kalimat syahadat dan banyak beristighfar ketika kupikir mungkin aku tak bisa bertahan karena rasa dingin yang kurasa sampai ke sum-sum tulang, sambil berharap matahari terbit semenit yang akan datang.

#

Alam meremang. Burung liar bernyanyi. Mengganti suara serangga malam yang tak membantu menghangatkan tubuhku. Menggigil.

Tak ada yang paling kuinginkan selain sengat matahari saat itu. Maka, ketika bola api yang berpijar itu telah mengintip dari perbukitan, segera ku keluar dan berdamai dengannya. Kalau sudah begini, tak ada yang lebih nikmat dari menyeruput secangkir kopi sebagai teman menikmati sunrise.

::
Aku terjatuh pada bukit hijau yang membawaku pada ranum dedaunan.
embun yang meleleh pada tiapnya.
Membias, mengetuk tirani takjubku.
Jadikan aku sang pemenang.
::

Hari ini dihabiskan dengan bersantai, membagi tugas mencari kayu bakar atau memasak logistic. Kalaupun udara tak sedingin malam tadi, tetap saja membuatku betah memakai pakaian rangkap tiga, maklumlah pemula. Sedang aku sendiri sibuk dengan bersantai ria diatas bukit seberang tenda kami hanya untuk sekedar menikmati alam. Hahaaha. Egois?. Memang.

#

Kerikil kecil.

Siapa yang perduli dengan batu kerikil? Kurasa tak ada yang mau repot-repot memperdulikannya. Ada banyak ribuan kerikil di jalanan, kenapa harus memperdulikan kerikil?

Maka, akulah orang yang mau berepot-repot memperhatikan kerikil. Bukan aku yang tak punya kerjaan atau aku yang menjadi autis lantaran hawa dingin, tidak sama sekali. Aku memperhatikan hanya karena salah satu dari ribuan kerikil yang ada di gunung ini mencederaiku. (maaf) kalau sedikit lebay.

2cm untuk luka yang menggores di kakiku kudapat saat kami sepakat melakukan perjalanan iseng menuju pos ke tiga, Pondokan. Iseng karena kami hanya ingin tahu seperti apa rupa dari pos ketiga. Perjalanan ini kunamai dengan “ostorogeniofuma” yang artinya “mbohlahakugkngerti” hehehe.

Dari sepuluh orang dari total rombongan kami yang ikut melakukan perjalanan ini hanya delapan orang. Sedangkan dua orang lainnya menunggu di tenda kami, mungkin tepatnya bermalas-malasan. Apa perduliku.

Dengan membawa perbekalan secukupnya, maka jadilah kami berdelapan memulai perjalanan tanpa syarat ini. Bergumul dengan peluh. Bercanda dengan kabut gunung. Indah. Terjal yang mempesona.

Kurasa perjalanan ini tak seberapa berat ketimbang seperti malam kemarin berjalan. Mungkin karena kami yang tak membawa beban selain berat tubuh kami masing-masing. Atau mungkin tubuh ini sudah bisa menyesuaikan dengan alam. Siapa yang tahu.

Putih. Menggelitik kulit. Dingin. Kabut masih setia menemani perjalanan ini.

Pondokan. Tak banyak yang istimewa dari tempat ini. Sama saja seperti Kop-kopan. Hijau. Mungkin menurutku keistimewaannya selain berupa rumah-rumah pondok para penambang belerang, tempat ini dingin. Sangat dingin. Siang yang mengerikan di tempat ini. Membuatku ingin segera berbalik dan turun. Untungnya bukan hanya aku sendiri yang merasa kedinginan di siang bolong ini. Maka kami semua sepakat langsung turun kembali menuju Kop-kopan. Setelah menyempatkan diri berfoto-foto sejenak.

Dan, diperjalan turun inilah sebuah kerikil membuatku ber cak-cuk. Ketika itu kabut masih setia menemani kami, jarak pandang hanya sekitar satu meter. Kami semua harus berekstra hati-hati menuruni lembah yang besisi jurang. Entah apa yang salah dengan diriku, ketika perjalanan ini mulai menuruni sisi bebatuan yang sedikit terjal, kaki kananku terpeleset dan membuat keseimbanganku goyah. Jadilah aku mencium tanah. Dan kurasa, Tuhanku masih bersamaku waktu itu. Karena posisi terpelesetku masih sedikit jauh dari pinggiran jurang. Menegangkan. Dan sakit. Tak ada yang tahu peristiwa ini. Selain kabut yang menyembunyikan posisi kami semua, aku adalah orang yang berada di urutan kedua paling belakang dalam perjalanan ini.
Sebuah kerikil berbentuk pipih dan sepanjang 3cm menggores kakiku. Segera setelah aku kembali tegap kuambil kerikil itu dan kumasukkan kantong. Perih dari bekas goresan itu kubiarkan. Menjadikan oleh-oleh untukku.

#

Sore. Kembali ke Kop-kopan. Dan semua berjalan normal. kembali pada kesibukan masing-masing. Sedang aku sibuk memperhatikan kerikil yang menggores kakiku tadi. Tak ada istimewanya. Maka setelah kutimang-timang, kubuang jauh ke lembah.

Menjelang malam. Dingin kembali mengedarkan kengerian. Membuat ku kembali menggigil dan sibuk meringkuk. Memikirkan kembali penyesalan-penyesalan dalam pendakian ini.

Tapi untuk malam ini, kengerian dari rasa dingin malam ini tak seberapa, karena terbantukan api unggun yang sempat dipersiapkan sebelum acara perjalan ke Pondokan tadi. Jadilah kami semua berkumpul di luar tenda dan melakukan segala aktifitas di sekitar api unggun. Kami bercanda. Tertawa. Masih ada yang menenggak minuman naga. Dan sekedar bermain gitar suka-suka. Kami melakukan semuanya dalam balutan hangat api unggun. Jadilah malam ini malam kemerdekaan untuk kami semua.

Malam berlanjut. Si jago merah kalah oleh waktu. Dingin kembali berkuasa. Dengan sendirinya kamipun sadar untuk berlindung dari terpaan angin malam. Kembali berdesak-desakan. Kembali membuat benteng pertahanan dan bertarung oleh rasa dingin. Menanti fajar.

Jingga. Tanpa suara kokok ayam.

Waktu kembali bersahabat. Ketika matahari tampak segar dikulit kami. Kami bersiap. Menghabiskan semua logistic. Dan mempacking semua barang kami. Menuruni bukit yang “mungkin” tak akan kurindukan. Kembali untuk sesibukan masing-masing. Dirumah. Sekolah. Dan cerita-cerita kami.

Perjalanan yang mengasikkan. Dan nyatanya aku masih rindu untuk mendaki lagi.

Aku suka naik gunung.

Selesai.




:: dalam perjalanan turun ini salah seorang teman sekelasku “ketelisut”, dan ada cerita lucu disini yang membuat kami sempat kebingungan. Hahaha. Biarkan ini menjadi rahasia kami. Aku tak akan bercerita ::

Tulus H