Bukankah pada sebuah goresan selalu tersemat sebuah cerita ?
Berawal dari iseng-iseng yang kulakukan, bersama ketiga teman yang kupikir sama-sama nekat atau malah tolol. Aku tak akan menyangka bahwa keisengan ku membawaku pada sebuah goresan yang akan kukenang. Goresan alam pertamaku.
Arjuno. Aku tak pernah tahu seperti apa keaslian sebuah gunung, selain hanya dari cerita kakakku yang pernah mendaki, yang kutahu gunung hanya serupa tumpeng raksasa. Tak lebih.
Saat itu, entah bagaimana aku menyepakati ajakan seorang kawan sekelas untuk melakukan perjalanan pendakian, aku tak tahu awalnya, yang pasti dan jelas sudah ada dua peserta perjalanan lainnya yang juga sekelas. Kami sepakat, maka libur tiga hari menjadi waktu yang tepat.
#
Bus berangkat menuju kota dingin Pandakan.
Terminal kota Pandakan. Tak jauh berbeda suasana dengan terminal purabaya selain luasnya. Entah, kupikir, apakah sama semua wajah terminal-terminal di Negara indah ini. Ah, sudahlah, aku tak mau mengganggu perjalanan ini dengan larut pada bentuk-bentuk abstrak terminal.
#
Pos perijinan. Setelah sedikit administrasi ini itu, kami melangkah. Langkah awal kami pada sebuah cerita baru dalam kegiatan alam. Ya, diantara kami ber-empat, tak ada satupun yang pernah melakukan pendakian gunung, hanya bermodal nekat dan cerita bagaimana rupa gunung Arjuno. Itu saja.
15 menit kabar yang kami dapat dari penjaga pos dari wisata ini untuk melintasi wisata kakek bodo menuju pos pertama pet bocor, dan dengan sedikit bertanya pada para pedagang asongan kami memantapkan langkah untuk menuju kesana.
Pet bocor. 15 menit bukanlah waktu yang cukup bagi para pendaki amatiran macam kami, kurasa hampir 1 jam kami perlukan dari perkiraan soal waktu awal menuju Pet bocor. Ngos-ngosan.
Maka, tak salah kenapa dinamakan Pet bocor, karena memang di situ terdapat saluran pipa besi yang bocor menyemprotkan air gunung dengan deras. Entah siapa yang menamai dengan sebutan pet bocor. Sedikit aneh.
Sebenarnya, bukan masalah karena kami bertiga terlalu sombong untuk berjalan sendiri, tapi lebih karena kami murni merasa tak nyaman dengan orang yang baru kami kenal. Kami bukanlah orang yang mudah percaya pada orang lain. Itu saja.
#
Sore menjelang malam.
Bunyi genderang langkah kami, deru nafas, dan tabuhan jantung yang ber-ngerock ria menjawab bagaimana rasanya mendaki gunung, bahkan ini lebih parah dari yang ku rasakan saat menuju ke pos pertama di Pet bocor tadi. Perjalanan ini terasa berat dan lama bagi kami para pemula.
Dingin mengedar. Lelah berlipat.
Sungguh, aku rindu sengat matahari. Sedikit menyesal, pikiranku berlabuh pada kasur empuk dirumah dan selimut hangat ketika kulihat kerlip lampu-lampu kota dari atas selama perjalanan. Ingin rasanya berbalik dan berlari pulang. Tapi apa aku bisa dan cukup berani. Semua menguap tak berarti. Lampu-lampu kota tersebut hanya melecehkan tindak penyesalanku (T.T), dan entah bagaimana dengan pemikiran kawan-kawanku yang lain. Aku sibuk dengan diriku sendiri. Sibuk menyesal. Sibuk mengatasi rasa dingin dan lelah. Keegoisan yang sempurna
Waktu begitu rahasia. Entah sudah berapa lama kami berjalan. Bahkan kupikir kami akan menghabiskan malam ini bersama lelah. Kanan-kiri dan masih tetap menanjak. Hanya taburan bintang dan kerlip lampu-lampu kota yang kadang terlihat sebagai hadiah kecil untuk perjalanan malam ini.
Kabar baik datang. Seorang dari rombongan kawan baru bilang perjalanan akan segera berakhir, yang itu artinya kita akan segera sampai pada pos kedua, yaitu Kop-kopan.
#
Kami sudah pada posisi tidur senyaman mungkin. Dan kami sudah tak berkeringat lagi untuk meredam rasa dingin seperti setelah berjalan tadi. Maka, yang kurasa penderitanan dari lelah dan kantuk pun selesai ternyata masih belum. Penderitaan baru kami adalah rasa dingin yang ngilu. Teramat ngilu, terlebih karena diantara kami ber-empat tak ada satupun yang membawa jaket tebal yang cukup mengatasi hawa dingin. Sedangkan aku sendiri hanya membawa satu sweater tipis, dua kaos oblong dan, sebuah celana panjang kain, serta beberapa pakaian dalam yang sangat tidak membantu dalam hal menghangatkan tubuh. Dingin yang sempurna untuk membuat irama dari gigi-gigiku yang beradu.
Dingin. Semakin membuatku menyesal ikut dalam pendakian ini. Aku rindu pulang. Dan aku lapar.
#
Tak ada yang paling kuinginkan selain sengat matahari saat itu. Maka, ketika bola api yang berpijar itu telah mengintip dari perbukitan, segera ku keluar dan berdamai dengannya. Kalau sudah begini, tak ada yang lebih nikmat dari menyeruput secangkir kopi sebagai teman menikmati sunrise.
Aku terjatuh pada bukit hijau yang membawaku pada ranum dedaunan.
embun yang meleleh pada tiapnya.
Membias, mengetuk tirani takjubku.
Jadikan aku sang pemenang.
::
Hari ini dihabiskan dengan bersantai, membagi tugas mencari kayu bakar atau memasak logistic. Kalaupun udara tak sedingin malam tadi, tetap saja membuatku betah memakai pakaian rangkap tiga, maklumlah pemula. Sedang aku sendiri sibuk dengan bersantai ria diatas bukit seberang tenda kami hanya untuk sekedar menikmati alam. Hahaaha. Egois?. Memang.
#
Kerikil kecil.
Maka, akulah orang yang mau berepot-repot memperhatikan kerikil. Bukan aku yang tak punya kerjaan atau aku yang menjadi autis lantaran hawa dingin, tidak sama sekali. Aku memperhatikan hanya karena salah satu dari ribuan kerikil yang ada di gunung ini mencederaiku. (maaf) kalau sedikit lebay.
Dari sepuluh orang dari total rombongan kami yang ikut melakukan perjalanan ini hanya delapan orang. Sedangkan dua orang lainnya menunggu di tenda kami, mungkin tepatnya bermalas-malasan. Apa perduliku.
Kurasa perjalanan ini tak seberapa berat ketimbang seperti malam kemarin berjalan. Mungkin karena kami yang tak membawa beban selain berat tubuh kami masing-masing. Atau mungkin tubuh ini sudah bisa menyesuaikan dengan alam. Siapa yang tahu.
Pondokan. Tak banyak yang istimewa dari tempat ini. Sama saja seperti Kop-kopan. Hijau. Mungkin menurutku keistimewaannya selain berupa rumah-rumah pondok para penambang belerang, tempat ini dingin. Sangat dingin. Siang yang mengerikan di tempat ini. Membuatku ingin segera berbalik dan turun. Untungnya bukan hanya aku sendiri yang merasa kedinginan di siang bolong ini. Maka kami semua sepakat langsung turun kembali menuju Kop-kopan. Setelah menyempatkan diri berfoto-foto sejenak.
Sebuah kerikil berbentuk pipih dan sepanjang 3cm menggores kakiku. Segera setelah aku kembali tegap kuambil kerikil itu dan kumasukkan kantong. Perih dari bekas goresan itu kubiarkan. Menjadikan oleh-oleh untukku.
#
Menjelang malam. Dingin kembali mengedarkan kengerian. Membuat ku kembali menggigil dan sibuk meringkuk. Memikirkan kembali penyesalan-penyesalan dalam pendakian ini.
Malam berlanjut. Si jago merah kalah oleh waktu. Dingin kembali berkuasa. Dengan sendirinya kamipun sadar untuk berlindung dari terpaan angin malam. Kembali berdesak-desakan. Kembali membuat benteng pertahanan dan bertarung oleh rasa dingin. Menanti fajar.
Waktu kembali bersahabat. Ketika matahari tampak segar dikulit kami. Kami bersiap. Menghabiskan semua logistic. Dan mempacking semua barang kami. Menuruni bukit yang “mungkin” tak akan kurindukan. Kembali untuk sesibukan masing-masing. Dirumah. Sekolah. Dan cerita-cerita kami.
Aku suka naik gunung.
Selesai.
:: dalam perjalanan turun ini salah seorang teman sekelasku “ketelisut”, dan ada cerita lucu disini yang membuat kami sempat kebingungan. Hahaha. Biarkan ini menjadi rahasia kami. Aku tak akan bercerita ::
Tulus H
0 komentar:
Posting Komentar