Tepat setengah dua belas malam aku sampai di Medaeng.
Di warung, aku tak mendapati si atheis itu. Brengsek. Katanya dia sudah menunggu aku di warung. Jangan-jangan dia memang sedang keluar dengan kawan-kawannya, atau malah dengan kekasihnya. Tak masalah memang dia ada janji dengan kekasihnya kapanpun dia mau. Tapi kalau sudah ada janji denganku, dia tak bisa seenak jidatnya. Atau jangan-jangan dia tidur. Sudahlah, aku datangi saja dia langsung kerumahnya. Barangkali masih di rumah, atau sedang tidur.
Sampai dirumahnya ku sms dia agar segera keluar. Bah, ternyata dia tak kunjung keluar juga. ku miscal dia barangkali dia tak mendengarku. Selepas itu, dia membalas pesan dariku. Ia menyuruhku menunggu di warung. Aku melaju ke warung Medaeng.
*
Kupesan segelas kopi. Aku mengambil sebatang rokok sisa tadi sore dari saku jaketku dan menyalakannya. Ku hisap perlahan dan menikmati semua gejolak dan ledakan kenikmatan yang timbul dari asap rokokku. Kini didepan mataku berseliweran banyak hal yang membutuhkan dipikirkan dengan mendalam. Tentang Trunojoyo ‘pahlawan’ dari Madura, tentang arti sebuah pahlawan, tentang hidup, tentang tulisanku mendatang, tentang Nita yang hendak berangkat KKN di Sampang. Ah, aku kelelahan begitu melihat begitu banyaknya sesuatu yang memenuhi kepalaku.
Kemudian yang tak terlewatkan, tentang aku yang mulai merasakan diriku berada di tepian jurang antara batas waras dan gila. Tapi entahlah, apa sesuatu yang aku anggap waras justru sesuatu yang sebenarnya gila, atau yang aku anggap gila justru hal waras yang memang wajib dijalani seseorang yang belajar menjadi manusia. Sampai hendak menangis aku merasakan adanya distorsi terhadap jalan yang hendak aku lalui. Antara jalan gila dan jalan waras yang aku lalui mendadak menjadi sebuah kolaborasi dan membentuk tatanan yang apik hingga terkadang aku bingung dalam menentukan pilihan. Namun tak jarang pula aku temukan sebuah jalan kewarasan dimana aku sangat yakin akan kebaikan dari jalan yang aku renungkan. Tapi pada saat aku hendak menuju jalan yang aku pilih, keadaan, waktu, dan semuanya memaksaku memilih sebuah jalan yang telah aku tinggalkan, yakni kegilaan. Namun yang menjadi aneh kemudian adalah, jalan yang aku anggap sebagai jalan mereka yang waras, ternyata mereka anggap jalan yang salah atau jalan gila.
Inilah aku orang yang masih hendak belajar menjadi manusia, dengan banyak hal yang rumit membuat aku selalau bertanya. Apa aku sudah gila? Apa aku….
Belum sempat kiranya aku menyelesaikan dan menyuntuki pikiran-pikiranku, si Atheis itu telah datang dengan senyum terbaiknya – licik tentunya.
*
Sosok tubuh kurus dengan wajah tirus serta dengan kulit yang legam, dan yang tak ketinggalan senyum khas dengan mata menyipit seperti merencanakan kebusukan. Siapa lagi. Tak ada orang dengan cirri-ciri sebegitu menyeramkan seperti dia. sulit sekali tersamarkan, kecuali pada pertemuan sebelumnya dimana dia tersamar diantara gelap malam dan rumbun pepohonan. Benar-benar khas iblis.
Sudah dapat langsung aku tebak, apa yang akan dia pesan. Sesuatu yang berwarna coklat dan rasanya manis. Yah tepat, dia memesan kopi susu. Minuman yang pernah aku anggap sebagai perlambang kelamahan dan kebanci-bancian.
Katanya dia adalah seorang penggemar lethek kopi, tapi nyatanya dia selalu merusak letek dengan kontaminasi dari susu, yang bagiku kuanggap sebagai perlambang kewanita-waanitaan. Apalagi kewanita-wanitaan itu dilakukan oleh orang yang mempunyai penampilan sangar.
Si Atheis menanyakan kawanku Depy yang aku bawa sebelumnya karena kebetulan dia ada di tempatku. Dia juga menanyakan sikap Depy yang menurut Atheis terkesan ngetes pada setiap perkataannya. Dia merasa agak rikuh dengan seperti itu dan merasa tak lagi dapat los ketika berbicara. Dan menurutku begitulah si Depy. Dia mudah terpukau pada hal-hal baru yang ada di sekitarnya.
Sudah beberapa jumat tidak tidak kita lewati dengan menaklukan malam karena berbagai hal. Seperti yang jumat sebelumnya dimana dia kelelehan karena acara tahun baru, kemudian dia yang kecapek’an dan ketiduran. Ah alasan lelaki legam itu saja.
Dan hari ini aku dan dia membicarakan perihal Penjahat kasus suap jaksa si Artalita. Bagiku bukan Artalita yang jadi sumber permasalahan sebenarnya terhadap masalah di pondok bambu, namun orang-orang yang menjadi petugas penjara yang patut dipersalahkan. Karena tidak akan mungkin ada penyuap kalau yang disuap tidak mau. Dan yang tak luput dari kecamanku adalah sikap para sipir yang memalukan, termasuk pemerasan seperti yang tertulis di jawapos beberapa hari yang lalu. Hal ini juga dibenarkan dan diamini dalam buku kisah para ratib karangan Arswendo seputar dunia penjara.
Si Atheis nampak keberatan dan seperti ingin megutarakan pendapatnya. Dia beranggapan hal itu wajar dan sudah berlangsung sejak sekian lama, oleh sebab itu hendaknya tak terlalu dipermasalahkan. Tapi tidak bagiku. Karena pada dasarnya aku adalah orang yang paling dengan anti dengan system dan nilai. Terlebih lagi sebuah system yang bobrok, yang dengan bangganya dikatakan telah lebih baik dari sebelumnya ujar SBY. Ah orang itu terlalu mengada-ada. Nampaknya ada yang terganggu diantara system kerja otaknya karena kasus century tak kunjung mereda. Dan kembali kukatakan kepada atheis itu lagi, bila pemindahan Artalita ke tempat yang pantas hanya sebuah kesementaraan. Dan kembali kasus seperti ini akan terulang kembali dikemudian hari ketika pengawasan tak lagi ketat seperti dulu.
Boleh dibilang kasus yang menyangkut system di Indonesia, terutama kenegaraan itu hampir bisa disamakan dengan pelacuran. Setelah sebuah tempat mangkal pelacur jalanan digaruk oleh aparat maka satu atau dua hari tempat itu menjadi sepi dan para pelacur itu akan libur. Namun setelah dirasa aman, mereka akan kerja kembali. Begitu juga system yang ada di negeri ini, dan bahkan lebih parah dari pelacuran.
Semua karena tidak ada yang punya itukad baik dalam merubah negara ini menjadi lebih baik. Semua yang maju dengan janji menjadikan keadaan lebiih baik dari sebelumnya hanya omong kosong. Ya RW, ya lurah, ya camat, ya bupati, gubernur, presidennya. Semuanya bosok.
*
Menjelang malam aku bercanda dengan si atheis tentang permasalahan hujatan para Raper kepada kangen band. Kita juga memperbincangkan tentang reagae, kangen band, dangdut, band papan atas. Si atheis mempermasalahkan masalahkan mengapa hujatan hanya disematkan kepada kangen band dan band-band melayu saja dan bukan Dewa, Padi, Boomerang, Slank, dll. Apa karena para Rapper kehilangan nyali karena takut berurusan dengan para penggemarnya.
Perbincangan akan hal ini bermula ketika aku mengingat ketika si tulit masih memuja RS dia sering memamerkan lagu kangen bandnya kepadaku. Dan aku menertawainya karena menurutku sangat lucu. Dengan muka khas iblis, tapi kegemaran lagu kangen band. Dia berkilah bila hanya lagu-lagu tertentu yang dia suka dan yang membuatnya teringat RS. Dia juga menekankan kalau dia sendiri juga tidak terlalu fanatic dengan kangen band. Hanya saja dia mempermasalahkan mengapa kesanggupan para Rapper itu hanya berani menghujat band amatir. Kemudian kalaupun ada yang berani menghujat Ratu, itupun harus berlindung dibawah ketiak Dani sebagai orang yang punya nama besar di belantara music.
Pada umumnya dalam perbincangan ini aku mendukung mengapa para Rapper itu mengejek kangen band. Namun segera saja si tulit menyela pembicaraanku.
“Apa karena muka personil kangen band yang hanya pantas menjadi penjual cendol”
Aku hanya bisa tertawa. Namun tak aku ungkapkan itu, karena salah satu alasan dari hujatan kepada kangen band itu berawal dari performen personilnya.
Begitulah pada akhirnya. Tak ada penyelesaian dan hanya melahirkan tawa yang meledak di pagi yang dingin.
Ketika menjelang subuh. Aku berpamitan untuk pulang karena mataku telah mengantuk.
Citra Dara Vresti
0 komentar:
Posting Komentar