Minggu, 20 Desember 2009

Posted by forumjumatmalam | File under :

Catatan 0003/J/

Menunggu pukul sebelas malam sesuai dengan kesepakatan atheis laknat untuk bertemu di medaeng.

Hari ini adalah sabtu yang bahagia bagi banyak orang. Dimana-mana orang melangsungkan pernikahan, baik itu dikampung, dikota, ataupun dimana saja. Namun kebahagiaan mungkin tidak untuk seorang kakak kelasku yang dulunya dipanggil Buncis, dimana sekarang sedang muram dengan mata nanar di warung kopi kletek. Aku selalau berjumpa dengannya setiap malam minggu tiba. Aku sering menanyakan kepadanya, mengapa dia tidak keluar ke sebuah tempat selain warung kopi, ke pacar mungkin. Dia hanya tersenyum dan menjawab lirih kalau dia tak punya pacar. Baginya memandang mereka yang sedang menikmati malam dengan pasangan-pasangannya serta melihat berlalu-lalangnya kendaraan yang melintas sudah cukup membuatnya bahagia. Dan semua kemustahilan itu dikatakan dengan tenang tanpa sedikitpun air mukanya berubah. Dia bohong atau bagaimana. Sulit bagiku untuk menerka dan menerawang jauh pada sepasang mata besarnya yang selalu merah.

Adakalanya aku mencoba memasuki kegelisahannya. Kita bicara tentang banyak hal. Tentang bejibunnya acara kawinan di kampung kami, tentang pekerjaan, tentang masa depan yang semakin suram saja, juga tentang percintaan yang baginya teramat suram. Dari caranya berbicara, dan ketika mendengarkan cerita-ceritaku selalu dapat aku hafal. Dia memandang teduh ke arah ku dengan mata merah yang nampak seperti sedang menerkaku dan menerawang kedalamanku.

*

Sekarang masih pukul 22.30 malam. Tiga puluh menit lagi.

Seperti kemarin-kemarin juga sama. Pemandangan rutin setiap malam minggu di warung kopi ini. Menyaksikan sorot mata nyalang dan nampak lelah dari sekumpulan pemuda dengan bau alcohol dimana-mana.

Mondar-mandir orang berjalan melintas. Ada penumpang bemo yang sedari tadi menunggu keberangkatan. Ada juga yang menanti kedatangan istri dan anaknya sambil menikmati kopi.

Penjaga warkop malam ini pun juga tak seperti biasanya. Penjaga yang selalu ku ajak bercanda tentang banyak hal kini tak lagi jaga. Entahlah kemana dia. Kini pekerjaannya digantikan seorang pemuda berkulit legam dengan tampang mirip gigolo.

Warkop menjadi semakin sepi. Segerombolan pemuda yang selalu mabuk setiap malam minggunya sudah kembali ke belakang bangunan sekolahan taman kanak-kanak, tempat mereka mabuk. Mereka hanya keluar untuk membeli tambul atau camilan teman minum.

Ah indah hidup ini dengan satu pak rokok surya 12 dan secangkir kopi. Sebuah bayaran lelah dari mengajar karate selama satu bulan setengah. Meski hasilnya tak seberapa, paling tidak sudah lebih dari cukup untuk membeli sebungkus rokok dengan kopinya dan lantas sisanya ku pakai membeli beberapa buku menarik di toga mas. Dan meskipun gaji mengajarku telah di korup oleh penjaga sekolah. Tapi sudahlah. Mungkin gajinya masih kurang sehingga harus gajiku yang menjadi korbannya. Lima puluh ribu rupiah yang dikorup, lumayan lah kalau buat membeli rokok.

Ya sudah. Mau apa lagi. Sudah diambil ya biarkan. Anaknya banyak, mungkin buat anak-anaknya. Semoga apa yang dia ambil dariku bermanfaat baginya. Tak apalah. Toh yang diambilnya cuma uang receh. Tak sampai 67 milyar seperti kasus bank century keparat itu.

Pukul sebelas lewat seperempat. Aku harus segera ke medaeng.

*

Warkop medaeng.

Atheis kembali datang dengan seorang dengan rambut keriting dengan wajah khas orang Indonesia timur. Aku pernah menjumpainya di taman bungkul dengan si atheis ketika ngopi disana dan semantara ini panggil saja dia ‘kriting londo’. Kata si atheis dia adalah saudara dari si Jhon Key – preman kondang yang di sidang di Pengadilan Surabaya karena kasus penganiayaan.

Sepulang si kriting londo, kita membicarakan seputar buku “kisah para ratib” karya Arswando. Sebuah buku tentang kisah didalam penjara. Kembali kita bercanda tentang sebuah tempat yang paling purba. Dimana selalu kita bicarakan dengan tenang dan kita jadikan guyonan. Dan aku kembali teringat akan gairah kemudaan yang selalu kubicarakan dengan Boyd kawanku di pers mahasiswa, tentang masa depan seorang penulis radikal. Sekalipun kran kebebasan telah dibuka, namun bayangan akan penjara bukan menjadi hal yang tidak mungkin. Peluang kesana masih terbuka sangat lebar.

Kemudian pembicaraan juga mengalir seputar Nita. Tentang kehidupan percintaanku dengannya, juga tentang masa lalu yang memuakkan bagi kami berdua. Kemudian kita berbicara tentang pelajaran kedewasaan yang ternyata tak semudah yang pernah kita bayangkan sebelumnya dan selalu kita anggap mudah.

Keresahan-keresahan akan hubungan kami, dimana setiap pertengkaran selalu tebit karena masa lampau kami yang tak pernah ada habisnya. Pertengkaran yang sebenarnya tak perlu, tampaknya harus dan senantiasa kita lakukan karena dipicu berbagai hal. Aku dan dia sebenarnya telah lelah dengan semua persoalan yang menyankut tentang masa lalu. Namun yang paling sering adalah perkara dia dan masa lalunya yang tak pernah berhenti untuk mengejar-ngejarnya. Seorang polisi keparat dari Sampang yang tak pernah jengah untuk mengganggu hubungan kami. Anjing bangsat!!!

Nita selalu mengatakan bila antara si dirinya dan si anjing keparat sudah tak pernah ada lagi. Hubungan mereka telah berakhir ketika si anjing telah ketahuan memilki seorang tunangan. Dan maka dari itu nita memutuskan hubungan yang telah dijalaninya selama lima bulan. Namun karena memang sikap dasar dari si anjing yang tak pernah jengah dengan uang dan vagina, maka jadilah ia terus mengejar nita kemanapun ia berada. Sekalipun nita telah memperingatkan si anjing itu untuk tak lagi mengganggunya, namun tampaknya ia masih sangat keras kepala. Karena memang belum didapat apa yang Ia mau – vagina.

“Pak, antara kau dengan Nita iku kan masih dalam taraf pacaran. Tentunya belum menikah. Jadi persoalan semacam itu merupakan perkara yang biasa dalam berpacaran. Baik itu masa lalunya yang selalu mengejar, rasa cemburu, itu semua wajar. Lain halnya bila telah di ikat sebuah ikatan perkawinan. Maka lain lagi. Hal seperti masa lalu yang masih mengejar adalah masalah yang tergolong serius. Jadi kau tak perlu risau”.

Kata-kata Tulus seperti kerikil yang sulit sekali aku telan. Logis memang. Namun sulit untuk dijalankan.

“Kalau misalnya, kamu jadi aku. Apa yang akan kamu lakukan?” Kembali aku balik bertanya.

dan tak bisa dijadikan acuan untuk membayangkan”. Jawabnya pasti.

Semuanya bertambah rumit. Kata-katanya tak ada satupun yang bisa aku terima. Entah di sisi yang mana yang tak logis. Atau ada yang salah pada diriku?

Kemudian aku juga bercerita tentang aku yang selalu marah ketika masalah itu menyangkut masa lalunya yang berkaitan dengan masa laluku. Ia mantan dari seorang anjing. Sedangkan masa laluku adalah seorang pembenci anjing yang paling ekstrim. Baik karena kematian kawanku karena seorang anjing, dan juga banyak hal.

Atheis itu juga mengingatkan aku tentang hal-hal yang lumayan bisa aku terima, dimana ketika aku terus-menerus marah dengannya maka ada hal yang lantas dipertanyakan padaku. ‘mana yang katanya aku mencintainya?’ semuanya hanya omong kosong kalau tidak bisa pahami keadaannya.

Menjelang pukul dua pagi.

Aku menghabiskan banyak waktu untuk bergurau dengannya. Si atheis bercerita tentang acara diklatnya yang katanya dipermainkan oleh jin yang menghuni perkemahannya. Aku tegang, juga tertawa. Sudahlah.

Hari semakin dekat subuh. Suasana agak gerimis.

Teh tawar, dan juga kopi susu yang terlalu manis menemani prjalanan menahlukan malam. Dan seperti yang ia katakan tentang tokoh inspiratifnya – soe hok gie –

Tepatnya tokoh kita berdua.

Citra n Lek (Tulus/atheis laknat)





“Jalan hidup seorang perempuan adalah ‘tak pernah dapat benar-benar lepas dari masa lalu’ baik ia sengaja atau tidak. Maka jalan yang paling bijak bagi seoirang lelaki adalah memaafkan. Dan sebagai lelaki, kita tak perlu mencari pembenaran-pembenaran egois terhadap permasalahan antara aku dengannya”.

0 komentar:

Posting Komentar